Penulis: Hermanus Tanamera – Fasilitator Mamberamo Tengah
Di lereng pegunungan Ilugwa, Distrik Ilugwa, Kabupaten Mamberamo Tengah, setiap pagi terdengar suara lembut namun penuh wibawa memanggil anak-anak masuk kelas. Suara itu milik Bapak Bertus Mabel, guru yang telah mengabdi selama 35 tahun di SD Inpres Melanggama. Rambutnya kini mulai memutih, tapi semangatnya mengajar tak pernah pudar.
Sejak tahun 1990, Bapak Bertus menjadi sosok panutan di sekolah dan kampungnya. Ia tak hanya mengajar membaca dan berhitung, tetapi juga menjaga bahasa dan budaya Walak agar tidak hilang ditelan zaman. Di tengah derasnya arus teknologi dan perubahan, beliau memutuskan untuk mengajar literasi dan matematika dengan Bahasa Walak, bahasa ibu yang digunakan anak-anak setiap hari.
“Kalau saya ajar pakai Bahasa Indonesia, anak-anak diam saja,” tutur Bapak Bertus sambil tersenyum bangga.

Bagi beliau, Bahasa Walak bukan sekadar alat komunikasi, tapi identitas dan jati diri generasi Ilugwa. Melalui bahasa ini, ia membantu anak-anak memahami konsep-konsep baru dalam cara yang akrab dan menyenangkan. Di papan tulis, angka-angka matematika berdampingan dengan kata-kata Walak. Saat menjelaskan cerita atau soal, Bapak Bertus sering menyelipkan kisah adat dan petuah orang tua, agar anak-anak belajar sambil mengenal akar budayanya.
Dukungan dari orang tua murid pun luar biasa. Mereka bangga melihat anak-anaknya belajar dalam bahasa yang mereka pahami sejak kecil. Setiap hari, Bahasa Walak kini menjadi bagian wajib dalam jadwal pelajaran di SD Inpres Melanggama.
Ketika sekolahnya menerima program literasi dari Yayasan Nusantara Sejati (YNS), UNICEF, dan Pemerintah Australia, Bapak Bertus merasa harapannya semakin nyata. Ia tahu, program itu bukan hanya tentang membaca dan berhitung, tetapi tentang membangun masa depan anak-anak Ilugwa.
“Saya tidak mau generasi kami tertinggal. Saya ingin mereka jadi dokter, pilot, guru atau apa saja yang mereka mau. Sebelum saya tiada, saya akan tetap mengajar untuk generasi emas Papua,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Bagi Bapak Bertus, mengajar adalah panggilan hati, bukan sekadar pekerjaan. Ia percaya bahwa setiap huruf yang diajarkan, setiap angka yang dijelaskan, adalah bentuk syukur kepada Tuhan. Dari ruang kelas sederhana di Ilugwa, semangatnya menyalakan harapan besar: bahwa dengan bahasa sendiri, anak-anak Papua bisa melangkah sejajar dengan dunia.


