Penulis: Helena Londa Sato Sera – Fasilitator Yalimo
Pagi itu, kabut masih menyelimuti lembah-lembah di pegunungan Yalimo. Suara burung berkicau dari balik pepohonan tinggi di Distrik Elelim. Di tengah suasana tenang itu, terdengar langkah-langkah kecil anak-anak yang berjalan teratur di jam 7.00 pagi. Mereka bukan pasukan tentara, bukan pula barisan upacara. Mereka adalah anak-anak SD YPK Moria Pirip yang sedang menjalankan sesuatu yang mereka sebut “Operasi Semut.”
Bukan tanpa alasan kegiatan ini dinamai demikian. Layaknya semut-semut yang bekerja tanpa lelah, mereka menyusuri halaman sekolah dengan telaten, satu per satu memungut sampah, membersihkan kelas, dan merapikan lingkungan. Tidak ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain. Semua tangan bekerja, semua kaki bergerak. Bahkan tangan-tangan mungil yang biasanya gemar bermain lompat tali dan kelereng kini sibuk memungut plastik dan daun kering.
Namun di balik gerakan kecil itu, tersembunyi satu langkah besar: sebuah perubahan budaya.
Awal yang Sederhana dari Kepedulian Bersama
Cerita ini bermula dari keprihatinan para guru di SD YPK Moria Pirip yang melihat bagaimana sekolah mereka tidak hanya kekurangan fasilitas, tetapi juga semangat untuk menjaga lingkungan. Tidak ada sistem piket, dan kedisiplinan masih menjadi tantangan bersama. Melihat hal itu, para guru berdiskusi dan sepakat untuk memulai sesuatu yang sederhana namun bermakna: gerakan Operasi Semut.
Kepala sekolah, Ibu Syanette Patty, bersama seluruh guru kemudian menginisiasi sistem piket harian. Setiap pagi, mereka mengumpulkan anak-anak untuk berbaris rapi, memberi pengarahan singkat, dan mengajak semua siswa membersihkan lingkungan sekolah. Tidak ada perintah satu arah; yang ada adalah teladan. Guru-guru turun langsung, ikut menyapu, memungut sampah, dan menata taman bersama anak-anak. Mereka menunjukkan bahwa kebersihan bukan tugas sebagian orang, melainkan tanggung jawab bersama seluruh warga sekolah.


Perubahan tidak terjadi seketika, tetapi tumbuh dari konsistensi. Lambat laun, anak-anak mulai terbiasa. Mereka datang lebih awal, berbaris tanpa disuruh, saling mengingatkan, dan bekerja dengan gembira. Kini, Operasi Semut bukan lagi sekadar kegiatan mingguan, tetapi telah menjadi budaya sekolah.
Guru-guru merasa lebih kompak, anak-anak lebih disiplin, dan suasana belajar menjadi lebih nyaman. Kelas yang bersih dan halaman yang tertata kini menjadi cermin semangat baru di Moria Pirip. Yang paling membahagiakan, anak-anak datang ke sekolah dengan rasa memiliki. Mereka tidak hanya “datang untuk belajar,” tetapi juga “datang untuk merawat.”



Di tempat seperti Yalimo, di mana keterbatasan fasilitas sering kali menjadi alasan untuk berhenti berbuat, para guru SD YPK Moria Pirip justru memilih untuk bergerak. Operasi Semut bukan sekadar kegiatan bersih-bersih, melainkan menjadi simbol bahwa perubahan besar dapat lahir dari langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama. Para guru tidak menunggu bantuan dari luar; mereka memulai perubahan dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat, dan dari hal yang bisa dilakukan hari ini.
“Semut-semut kecil” di SD YPK Moria Pirip telah menunjukkan bahwa keteladanan, kolaborasi, dan cinta pada sekolah bisa menumbuhkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan kepedulian: fondasi utama bagi pembelajaran literasi dan karakter anak-anak di Tanah Elelim.



