Di penghujung tahun 2020 yang lalu, tersebar suatu video yang viral mengenai seorang ibu yang memukul seorang anak didepan umum. Di video tersebut terlihat si anak berlari dikejar oleh seorang wanita paruh baya dan akhirnya anak tersebut dipukul di depan umum oleh wanita tersebut. Belakangan diketahui anak tersebut adalah anak tetangga dari wanita (Rohana) yang terlihat memukul anak tersebut.
Orangtua dari anak tersebut Annisa (32), tidak terima dengan perlakuan tetangga nya terhadap anak nya lalu melaporkan Rohana ke kantor polisi setempat. Anissa mengatakan bahwa setelah aksi penganiayaan ini korban menjadi shock dan trauma. “Anak saya sangat ketakutan dan pendiam, saya laporkan bukan karena aniaya juga tetapi lihat anak saya menjadi stres dan ketakutan. Saya melapor supaya pelaku bisa bertanggung jawab atas perbuatannya.”
Lalu bagaimana Disiplin Berkarakter menanggapi hal tersebut?
Tindakan yang dilakukan oleh Ibu Rohana, apapun alasannya tidak bisa dibenarkan, karena merupakan bentuk kekerasan terhadap anak. Dengan melakukan kekerasan terhadap anak, maka Ibu Rohana telah melanggar aturan dalam UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak). Oleh karena itu, perilaku ibu Rohana layak untuk dilaporkan ke pihak berwajib.
Tindakan kekerasan tersebut selain mempermalukan anak, karena dilakukan di tempat umum, juga dapat menimbulkan trauma bagi anak. Dari laporan ibu Annisa bisa diketahui bahwa trauma tersebut sudah dialami sang anak. Tentunya harus dilakukan proses penyembuhan terhadap pengalaman traumatis anak.
Pertanyaannya adalah bagaimana kalau kita dalam posisi ibu Rohana? Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pertama, yang perlu dipahami adalah bahwa anak pada usia yang masih sangat muda (dibawah 5 tahun) belum paham apa yang baik dan apa yang buruk. Perilaku mereka lebih merupakan tindakan spontanitas, buykan disengaja. Pada usia tersebut anak belum memahami dampak dari tindakannya.
Kedua, oleh karenanya yang dilakukan adalah mengajak anak berdialog dengan bahasa yang sederhana namun logis, hingga anak dapat memahami dampak dari apa yang anak lakukan.
Ketiga, dalam berdialog, anak harus merasa nyaman, dihormati dengan cara mendengarkan/ menyimak dengan sungguh pendapat mereka, tunjukkan empati dan kepedulian terhadap anak, dan tujuannya harus benar-benar membantu anak.